Apakah Kebahagiaan diukur dari Materi ?

Kita ingin anak-anak kita bahagia,
dan sekilas tampaknya cara tercepat
untuk menuju ke kebahagiaan adalah uang.
(Elisabeth Guthrie & Kathy Matthews)

Banyak di antara kita yang berasumsi, bahwa kebahagiaan adalah tujuan berharga, meskipun kita tahu bahwa kebahagiaan itu bukan sesuatu yang bisa kita kejar layaknya kita mengejar bola. Pada era enam puluhan, “Mencari falsafah hidup” merupakan cita-cita tertinggi mayoritas orang Amerika. Namun di akhir tahun tujuh puluhan, cita-cita itu berubah dan bergeser menjadi “mencapai sukses finansial”. Sejatinya kalau kita renungkan sejenak, fungsi berbagai iklan adalah untuk membuat kita tidak bahagia. Tidak bahagia dengan baju yang kita punya, tidak bahagia dengan benda-benda yang kita punya bahkan juga tidak bahagia dengan tubuh yang kita punya.

Apakah uang membuat orang bahagia? Jawabannya hanya satu kata TIDAK. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa mempunyai uang banyak merupakan kontributor yang berperan sangat besar bagi kebahagiaan. Asalkan kebutuhan dasar kita terpenuhi, yaitu makanan, tempat tinggal, kenyamanan fisik dan hubungan antarmanusia, berarti kita sudah memiliki semua yang dibutuhkan untuk bahagia. Tidak benar bahwa mempunyai lebih banyak uang otomatis akan memberikan kebahagiaan yang lebih besar pula. Banyak uang juga merupakan salah satu faktor yang meningkatkan resiko penyakit dan gangguan mental. Coba lihat film Traffic dengan apik menggambarkan bagaimana anak-anak dari orang tua yang kaya dan sibuk terancam risiko terabaikan oleh orang tua.

Menarik untuk disimak pendapat Seneca, yang notabene adalah seorang intelektual terkemuka di Roma dua ribu tahun lalu. Ia mengatakan “Dahulu, nenek moyang kita …. hidup persis sebahagia kita, padahal mereka menyiapkan dan memasak daging dengan tangan mereka sendiri, berumah lantai tanah dan belum lagi mengenal emas dan batu permata …. ini mungkin menunjukkan kepada kita bahwa bukan jumlahnya, melainkan pikiranlah yang membuat seseorang menjadi kaya. Tidak ada orang yang bisa miskin kalau ia merasa cukup dengan apa yang dimilikinnya dan tidak ada orang kaya kalau ia masih mengharapkan lebih dari yang sudah dimilikinnya.”

Senada dengan pendapat Seneca, tulisan Ibrani “Ethics of Our Father” tertulis. “Siapakah orang yang kaya? Orang kaya adalah orang yang bahagia dengan apa yang dimilikinya.”

Ada baiknya sebagai orang tua, kita mengenali bahwa yang membuat anak-anak kita bahagia kemungkinan besar bukan uang, dan kebahagiaan sampai taraf tertentu mungkin ada di dalam kendali kita. Itu karena kita tahu bahwa kebahagiaan ada di kepala kita. Kebanyakan dari kita menyadari ini setelah mengalami peristiwa yang nyaris merenggut nyawa misalnya selamat dari kecelakaan mobil/pesawat, orang tercinta menderita sakit kritis lalu sembuh kembali. Pada saat tak menentu demikian, kita mengkaji kembali hidup kita. Yang remeh temeh dan tak berarti dengan sendirinya tersingkirkan, dan tinggallah intinya, yaitu kunci kebahagiaan kita. Namun orang yang tak pernah mengalami peristiwa semacam itu pun bisa mendapat pelajaran dari situ. Tentunya kita tidak berasumsi bahwa tragedi melahirkan kebahagiaan atau kesejahteraan. Yang jelas hal itu memperlihatkan kepada kita bahwa ada sesuatu dalam jiwa manusia yang mencari kebahagiaan tanpa memandang faktor-faktor seperti kekayaan, penampilan maupun kondisi tubuh. Mempertahankan perspektif hidup yang benar merupakan aspek yang sangat penting untuk meraih kebahagiaan.

Untuk itu, perlulah kita menumbuhkan sifat-sifat sebagai berikut kepada anak-anak kita, yaitu, tanamkan mereka untuk menyukai diri mereka sendiri, tanamkan selalu mempunyai harapan meskipun saat tak ada kendali atas hidup mereka, dan tanamkan selalu terbuka kepada orang lain. Sifat-sifat demikian lebih penting daripada kita memusatkan diri untuk membimbing anak-anak kita menuju keberhasilan ekonomi saja.

Penambahan penghasilan laksana sebuah tas. Sebesar apapun tas itu, kita selalu bisa memenuhinya dengan berbagai benda sampai semua tempat kosong terpakai. Andaikata kita membeli tas sebesar pulau Kalimantan, niscaya dalam lima hari tas itu bisa penuh dengan barang.

sumber : almakmun83.wordpress.com

0 Response to "Apakah Kebahagiaan diukur dari Materi ?"

Posting Komentar

Blogger Tricks

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme